Oleh Budi Siswanto
Nasi
tumpeng, atau yang banyak dikenal sebagai ‘tumpeng’ saja merupakan salah satu
warisan kebudayaan yang sampai saat ini masih dipercaya untuk dihadirkan dalam
perayaan baik yang sifatnya simbolis maupun ritual. Tumpeng sudah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya
ketika memperingati momen dan peristiwa penting. Tempat dihadirkannya tumpeng
ini pun di desa-desa maupun di kota-kota besar. Dimulai dari masyarakat di
pulau Jawa, Madura dan Bali, kini penggunaan tumpeng sudah menyebar ke bagian
pelosok nusantara lainnya bahkan ke mancanegara seperti Malaysia, Singapura
bahkan Belanda. (dikenal dengan nama rijstafel). Meskipun diyakini
berasal dari Pulau Jawa, masyarakat seluruh Indonesia sudah memaklumi dan
mengenalnya dengan baik. Di balik tradisi tumpeng yang biasa dipakai dalam
acara ‘selametan’, terdapat nilai-nilai yang sifatnya filosofis. Tumpeng mengandung
makna-makna mendalam yang mengangkat hubungan antara manusia dengan Tuhan,
dengan alam dan dengan sesama manusia.
Sayangnya penyebaran tumpeng yang begitu pesat dan meluas tidak dibarengi dengan makna filosofis yang terkandung didalamnya. Bagaikan kotak hadiah yang tampak cantik dari luar namun orang lupa menaruh hadiah di dalamnya, maka berapapun cantik kotak hadiah tersebut, tidak akan punya arti apa-apa. Analogi inilah yang kira-kira terjadi pada tumpeng. Banyak orang yang tahu apa itu tumpeng tetapi tidak tahu artinya.
Padahal apabila dilihat dengan seksama, tumpeng ini sarat dengan makna sehingga apabila makna tersebut dipahami dan diresapi maka setiap kali tumpeng hadir dalam setiap upacara, manusia diingatkan lagi akan kekuasaan Sang Pencipta Alam, pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam dan mempelajari nilai nilai hidup darinya serta mempertahankan asas gotong royong, urip tulung tinulung dan nandur kebecikan, males budi yang menjadi dasar kerukunan dan keharmonisan hidup bermasyarakat.
TUMPENG
Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut; karena itu disebut pula ‘nasi tumpeng’. Olahan nasi yang dipakai umumnya berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia mengenal kegiatan ini secara umum.
Tumpeng
biasa disajikan di atas tampah (wadah bundar tradisional dari
anyaman bambu) dan di daun pisang batu.
Falsafah
tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa,
yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba
masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam
para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa
menganut dan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak
berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat
bersemayam dewa-dewi.
Meskipun
tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi
tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan
filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai
permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi kenduri Slametan pada
masyarakat Islam tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar
pengajian Al Quran. Menurut tradisi Islam Jawa, “Tumpeng” merupakan akronim
dalam bahasa Jawa: yen metu kudu sing mempeng (bila
keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi
namanya “Buceng”, dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu
sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh).
Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan). Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra’ ayat 80: “Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan”. Menurut beberapa ahli tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh.
MEMAKNAI
TUMPENG
Hubungannya
dengan Agama dan Ketuhanan
Bentuk
tumpeng yang berupa kerucut dan mempunyai satu titik pusat pada puncaknya
dipercaya melambangkan Gunung Mahameru yang merupakan konsep alam semesta dan
berasal dari agama Hindu dan Buddha. Asal muasal bentuk tumpeng ini ada dalam
mitologi Hindu, di epos Mahabarata.
Gunung,
dalam kepercayaan Hindu adalah awal kehidupan, karenanya amat dihormati. Dalam
Mahabarata dikisahkan tentang Gunung Mandara, yang dibawahnya mengalir amerta
atau air kehidupan. Yang meminum air itu akan mendapat keselamatan. Inilah yang
menjadi dasar penggunaan tumpeng dalam acara-acara selamatan. Selain itu gunung
bagi penganut Hindu diberi istilah méru, representasi dari sistem kosmos (alam
raya). Jika dikaitkan dengan bagian puncak tumpeng, maka ini melambangkan Tuhan
sebagai penguasa kosmos. Ini menjelaskan bahwa acara-acara selamatan dimana
tumpeng digunakan selalu dikaitkan dengan wujud syukur, persembahan,
penyembahan dan doa kepada Tuhan.
Selain pengaruh dari agama Hindu, bentuk tumpeng ini juga dipengaruhi oleh agama atau kepercayaan masyakarat Jawa yang dikenal dengan nama Kaweruh Jendra Hayuningrat. Masyarakat Jawa sendiri sebenarnya lebih menganggap Kaweruh Jendra Hayuningrat sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (perilaku). Ajaran Kaweruh Jendra Hayuningrat biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat seperti aturan-aturan agama pada umumnya, tetapi menekankan pada konsep “keseimbangan”. Praktek ajaran ini biasanya melibatkan benda-benda tertentu yang memiliki arti simbolik.
Gunung
berarti tempat yang sangat sakral oleh masyarakat Jawa, karena memiliki kaitan
yang erat dengan langit dan surga. Bentuk tumpeng bermakna menempatkan Tuhan
pada posisi puncak yang menguasai alam. Bentuk kerucut gunungan (méru) ini juga
melambangkan sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang
berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan. Sebagian besar
upacara yang diselenggarakan dalam kebudayaan Jawa adalah bagian dari ritual Kaweruh
Jendra Hayuningrat sehingga tentu saja pengadaan tumpeng dan posisinya
yang penting dalam sebuah upacara sangat berkaitan erat dengan makna simbolis
yang terkandung dalam tumpeng itu.
Konon alam
semesta berbentuk pipih melingkar seperti cakram, dan lingkaran itu berpusatkan
Gunung Mahameru yang tingginya katanya sekitar 1.344.000 kilometer. Puncak
gunung ini dikelilingi matahari, bulan dan bintang-bintang. Konon katanya
gunung ini berdiri di tengah benua yang bernama Jambhudwipa yang ditinggali
manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Benua Jambhudwipa dikelilingi tujuh
rangkaian lautan dan tujuh rangkaian pegunungan. Di bagian tepi alam semesta
terdapat rangkaian pegunungan yang sangat tinggi sehingga sukar didaki, yaitu
Chakrawan dan Chakrawala. Di puncak Gunung Mahameru terletak kota tempat tinggal
dewa-dewa. Adapun delapan arah dari Gunung Meru dijaga oleh dewa-dewa
Asta-Dikpalaka sebagai pelindung alam semesta dari serangan makhluk-makhluk
jahat.(Stutley 1977:190-191; Heine-Geldern 1982:4-5; Dumarcay 1986:89-91 dalam
Munandar).
Orang-orang Jawa Kuno penganut Hindu-Buddha yang memang gemar belajar dan membaca memperhatikan betul soal ini. Dari dulu sampai sekarang orang kita memang tergolong suka beradaptasi dengan budaya dari luar. Setelah masuk ke budaya kita, budaya luar pastinya mengalami perubahan sesuai dengan daerah yang menganutnya. Orang Jawa Kuno percaya kalo Gunung Mahameru telah mengalami mutasi atau dipindahkan oleh para dewa dari Jambhudwipa ke Jawadwipa. Entah karena alasan politis atau agama, pulau Jawa kemudian dinyatakan sebagai pusat dunia. Konon oleh Bhatara Guru (atau Shiwa) para dewa disuruh turun ke Jawa supaya mengajari para penduduk awal pulau Jawa berbagai pengetahuan dan keterampilan. Oleh karena itu tidak mengherankan kalo gunung-gunung memiliki nilai mistis dan religius di mata masyarakat (terutama di Jawa).
Di banyak
kebudayaan gunung dianggap suci atau mistis. Orang Yunani menganggap gunung
Olympus sebagai tempat bersemayamnya Zeus. Di Hawaii masyarakatnya percaya kalo
gunung Mauna Kea adalah tempat tinggal Pele. Di pegunungan Himalaya banyak
dibangun kuil-kuil. Kalo di Indonesia sendiri kita mengenal legenda Nini Pelet
dari puncak gunung Ciremai atau mak Lampir dari gunung Merapi.
Bagi
orang-orang zaman dahulu gunung adalah abstraksi dari sesuatu yang jauh lebih
tinggi dan melampaui kekuasaan manusia, gunung juga dianggap lebih dekat dengan
‘langit’. Tak mengherankan kalo bentuk piramid, atau candi cenderung meniru
bentuk gunung. Khusus untuk candi seperti Candi Borobudur, bentuknya memang
berkaitan dengan konsep Mahameru.
Kembali ke masalah nasi tumpeng, dari bentuknya sudah tampak menyerupai gunung. Nasi tumpeng atau Tumpengan hanya ada dalam perayaan-perayaan tertentu. Ini adalah warisan budaya nenek moyang. Suatu perayaan yang dianggap suci tentu memerlukan simbol-simbol suci yang dapat mewakili makna dari apa yang tengah dirayakan.
Selain dari
bentuk, kita juga bisa menginterpretasikan makna dibalik warna nasi tumpeng.
Ada dua warna dominan nasi tumpeng yaitu putih dan kuning. Bila kita kembali
pada pengaruh ajaran Hindu yang masih sangat kental di Jawa, warna putih
diasosiasikan dengan Indra, Dewa Matahari. Matahari adalah sumber kehidupan
yang cahayanya berwarna putih. Selain itu warna putih di banyak agama
melambangkan kesucian. Warna kuning melam-bangkan rezeki, kelimpahan,
kemakmuran.
Melihat
hubungan antara makna dibalik bentuk tumpeng dan warna nasi tumpeng,
keseluruhan makna dari tumpeng ini adalah pengakuan akan adanya kuasa yang
lebih besar dari manusia (Tuhan), yang menguasai alam dan aspek kehidupan manusia,
yang menentukan awal dan akhir, Wujud nyata dari pengakuan ini adalah sikap
penyembahan terhadap Sang Kuasa dimana rasa syukur, pengharapan dan doa
dilayangkan kepadaNya supaya hidup semakin baik, menanjak naik dan tinggi
seperti halnya bentuk kemuncak tumpeng itu sendiri. Jadi tumpeng mengandung
makna religius yang dalam sehingga kehadirannya menjadi sakral dalam
upacara-upacara syukuran atau selamatan.
Berikut ini
adalah contoh-contoh jenis-jenis tumpeng yang membawa pengharapan atau doa
tertentu kepada Sang Hyang Maha Kuasa:
- Tumpeng Dlupak – yang puncak tumpengnya dibuat cekung (seperti posisi tangan ketika berdoa) bermakna agar keinginan dan harapan si empunya hajat dikabulkan.
- Tumpeng Punar – digunakan agar kehidupan keluarga cerah, seperti menyambut kehadiran anak.
- Tumpeng Kendhit – dipakai saat pemilik hajat memohon jalan keluar dari gangguan, kesulitan hidup, dan keselamatan dari ancaman roh jahat.
- Tumpeng Among-among – bermakna untuk minta perlindungan pada Tuhan untuk keselamatan anak cucu.
- Tumpeng Robyong - Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman dalam per-nikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai. Tumpeng robyong sering dpakai sebagai sarana upacara selametan (tasyakuran). Tumpeng robyong merupakan simbol keselamatan, kesuburan, dan kesejahteraan. Tumpeng yang menyerupai Gunung menggambarkan kemakmuran sejati. Tumpeng Robyong dibuat agar si pemohon selalu diobyong-obyong atau dikelilingi sanak saudara tercinta.
- Tumpeng Nujuh Bulan - Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan tujuh bulan. Tumpeng ini terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang batu.
- Tumpeng Pungkur - digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
- Tumpeng Nasi Putih - warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
9 9. Tumpeng
Kresna - Kresna berasal dari bahasa Sansekerta kresna yang
berarti ‘hitam’ (Mardiwarsito, 1981: 290). warna hitam pada tumpeng kresna
dihubungkan dengan warna sejati. Warna hitam, akan menyerap semua unsur warna
yang menempel padanya. Jika warna hitam dilekatkan pada warna lain, maka warna
lain akan kalah cahayanya dan dominan warna. Supadjar (2001: 87) menyebutkan
warna hitam sebagai warna sejati. Variasi juga terdapat pada simbolisasi
tumpeng kresna. Pemaknaan simbol warna hitam pada tumpeng kresna juga mempunyai
variasi yang dihubungkan dengan sedulur papat lima pancer. Tumpeng kresna
merupakan simbol warna hitam yang dalam kepercayaan Jawa merupakan perwujudan
dari arinta puser (Partahadiningrat). Arinta puser merupakan salah satu dari
empat saudara yang menyertai dalam kehidupan manusia yang bertugas menjaga
suara. Empat saudara yang dimaksud adalah keblat papat yang terdiri dari kakang
kawah, adhi ari-ari, arinta rah, arinta puser, kelima adalah pusat, yaitu diri
manusia sendiri sebagai pelaku kehidupan (Hariwijaya, 2006: 98). Keblat papat
lima pancer ini selalu diterapkan dalam segala urusan manusia sebagai sarana
instrospeksi diri dan kepercayaan bahwa manusia tidak dilahirkan sendiri di
dunia, melainkan membawa teman dan kewajiban-kewajiban yang dibebankan
kepadanya. Hubungan baik dengan kewajiban yang ada menghasilkan keselamatan,
yang dimaksud adalah keselamatan dari berbagai arah, yaitu empat penjuru mata
angin.
1 10. Tumpeng Nasi Kuning -
warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur. Digunakan untuk
syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan
sebagainya.
1 11. Tumpeng Kukuh-
Tumpeng kukuh menandakan kesejatian rasa. Rasa sejati hanya didapatkan dengan
usaha mempunyai niat yang kuat, keinginan yang kuat. Hubungan dengan falsafah
hidup Jawa, jika sudah mencapai tingkatan atas dalam martabat tujuh, maka akan
dapat merasakan rasa sejati, yaitu manunggaling kawula gusti. Segala tingkah
laku, pemikiran, perasaan, dan
perbuatan-nya akan hati-hati dan diperhitungkan sehingga akan
mendapatkan kebenaran sejati. Hasil akhir dari simbolisasi tumpeng kukuh adalah
pemahaman mengenai sangkan paran. Manusia harus sampai pada sumber air hidupnya
(dalam cerita Bimasuci) apabila ia mau mencapai kesempurnaan dan dengan
demikian sampai pada realita yang paling mendalam (Suseno, 2003: 116). Sumber
air tidak ditemukan di alam tetapi dalam diri manusia sendiri. Jika menghayati
kesatuan sejati dengan asal-usul ilahi, kesatuan hamba dan Tuhan, maka mencapai
kawruh sangkan paraning dumadi ‘pengetahuan mengenai asal dan tujuan segala apa
yang diciptakan’.
- Tumpeng Nasi Uduk - Disebut juga tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.
1 13. Tumpeng Sangga buwana Tumpeng
sangga buwana merupakan penyimbolan tingginya derajad kedudukan manusia di
antara makhluk ciptaan lain yang berada di dunia, baik makhluk hidup maupun
alam beserta isinya. Manusia merupakan khalifah yang bertugas amangku bumi,
menjaga bumi dari kerusakan. Semua yang terjadi di alam, bencana maupun
ketentraman, kuncinya berasal dari tindakan manusia. Hal tersebut ada karena
manusia merupakan bagian mikrokosmos dalam makrokosmos berupa alam seisinya.
Jika manusia melestarikan apa yang ada di bumi, memanfaatkan tanpa merusaknya,
menjaga hukum keseimbangan tetap berlaku, maka eksistensi alam akan mendukung
semua kegiatan manusia. Tumpeng sangga buwana menggunakan telur dadar sebagai
hiasan alas tumpeng yang diasosiasikan sebagai penyangga. Telur merupakan
simbol wiji aji, maksudnya adalah bakal calon makhluk hidup. Istilah wiji dadi
menjadi wiji aji merupakan harapan agar telur tersebut dapat menjadi berguna
dan berharga setelah waktunya. Telur sebagai wiji diasosiasikan sebagai manusia
dalam kehidupannya. Untuk mencapai kegunan atau kesempurnaan hidup, manusia
perlu mendapatkan tantangan yang merupakan proses pendadaran agar manusia dapat
tanggap, tangguh dan tanggon menghadapi segala tantangan kehidupan dan dapat
melaluinya dengan baik.
1 14. Tumpeng Urubing Damar - juga disebut tumpeng pucuk Lombok abang karena
di puncak tumpeng ditancapkan cabe merah. Tumpeng pucuk Lombok abang merupakan
simbol dari sinar kehidupan. Cabe merah yang diletakkan di puncak tumpeng
menyimbolkan damar atau obor sebagai penerang jalan menuju Tuhan. Maksudnya
adalah agar manusia yang diruwat mendapatkan kemudahan dalam menjalani
kehidupannya dengan mendapatkan sinar yang menerangi jalan yang awalnya gelap
dan sulit dilalui menjadi terang dan mudah dilalui dengan bantuan sinar
tersebut. Digunakannya cabe merah sebagai sesaji diasosiasikan sebagai nyala
obor. Obor dalam masyarakat Jawa digunakan sebagai penerang di saat gelap. Obor
disimbolkan sebagai damar sewu, maksudnya adalah sebagai penerang kehidupan.
Dengan nyala seribu obor, jalan gelap yang dilalui terasa mudah. Setelah
diruwat halangan dan rintangan yang disebabkan oleh ketidaktahuan akan dapat
diselesaikan dengan mudah oleh manusia yang diruwat. Dengan demikian, secara
tidak langsung kesuksesan akan dengan mudah diraih.
1 15. Tumpeng Megana
- merupakan kirata basa dari mergane bisa ana. Maksudnya adalah perwujudan dari
segala sesuatu yang ada di dunia, bisa ada karena penciptaan Tuhan Yang Maha
Esa. Tumpeng megana berwujud tumpeng di bagian tengah, bagian pinggir adalah
caruban sayur. Sayur yang dicampur adalah bayem, kecambah, dan kangkung. Maksud
dari setiap sayur yang dicampur masing-masing adalah: bayem berasal dari kata
‘ayem’ maksudnya adalah orang yang diruwat mendapatkan ketentraman. Kecambah
dalam bahasa Jawa disebut thokolan yang diambil dari kata thukul yang berarti
tumbuh. Thokolan merupakan benih yang akan menghadirkan tanaman baru. Maksudnya
adalah kehidupan seseorang akan lestari dengan hadirnya kehidupan baru.
Kangkung merupakan tanaman yang dapat hidup di dua alam, yaitu di perairan dan
di daratan. Maksud digunakan kangkung adalah agar manusia yang diruwat menjadi
lebih tangguh dalam menjalani kehidupan, dapat menjalani cobaan dan halangan
berupa apapun, dimanapun dia berada dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Gereh pethek atau ikan asin merupakan hewan yang hidup berkoloni di lautan.
Hidup ikan asin ini selalu berkelompok, tak pernah hidup sendirian. Makna gereh
pethek adalah agar manusia yang diruwat dapat hidup bergotong-royong diterima
di masyarakat, karena gotong royong dalam masyarakat Jawa merupakan sumber
kekuatan. Maksudnya, dengan bergotong-royong, kegiatan sesulit apapun dapat
diselesaikan jika bersama-sama. Sebagai urap ‘bumbu yang dicampurkan’,
digunakan parutan kelapa. Maksudnya adalah agar manusia yang diruwat dapat
lebih berguna dalam masyarakat, seperti pohon kelapa yang berguna dari ujung
daun, batang, buah, sampai akar dapat dimanfaatkan dalam hidup manusia
(Partadiningrat). Megana merupakan campuran dari berbagai macam sayur pilihan
yang disatukan dengan parutan kelapa. Campuran bermacam sayur dalam satu wadah
tersebut diasosiasikan dengan alam dengan segala isinya. Semua makhluk di alam,
ada karena diciptakan oleh Sang Pencipta. Karena itu, menusia harus mengingat
Tuhan dan bersikap baik terhadap sesama dan alam sehingga timbul keseimbangan
dalam kehidupan. Salah satu ornamen yang terdapat dalam tumpeng megana adalah
sayur kangkung. Pemilihan sayur kangkung sebagai ornamen juga tidak lepas dari
tujuan hidup masyarakat Jawa yang disimbolkan dalam sistem tanda berikut.
Hubungan makna yang diperoleh dari sayur kangkung adalah dengan mengasosiasikan
cara hidup kangkung. Tumbuhan kangkung dapat hidup dengan baik di dua alam yang
berbeda, yaitu di darat dan pada media air. Harapan yang diinginkan adalah,
dalam kehidupan selanjutnya, manusia dapat hidup seperti kangkung. Manusia
dapat menyesuaikan diri dimanapun berada. Hasil akhir yang dicapai adalah peringatan
pada mulih pulih. Manusia dalam hidup harus mengingat keadaan dan ketiadaan
dirinya, sehingga semakin lama dia hidup, dalam keadaan bagaimanapun akan
teringat bahwa semuanya merupakan hal yang harus dihadapi, bekal kepergiannya
pada alam sejati.
1 16. Tumpeng
Seremonial / Modifikasi
1 Tumpeng
merupakan bagian penting dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan atau
kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas
melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya. Karena memiliki nilai rasa syukur
dan perayaan, hingga kini tumpeng sering kali berfungsi menjadi kue ulang tahun
dalam perayaan pesta ulang tahun.
1
1 Dalam
kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis
menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling
penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan di
antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat
kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama
menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan rasa syukur
dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan kerukunan.
2 Acara
yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai ‘tumpengan’.
Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi ‘tumpengan’ pada malam
sebelum tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk
mendoakan keselamatan negara.
Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin doa selametan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang dating tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat. Dalam selametan, nasi tumpeng kemudian dipotong dan diserahkan untuk orang tua atau yang ‘dituakan’ sebagai penghormatan. Setelah itu nasi tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.
Hubungannya
dengan Alam
Kehidupan
orang Jawa sangat lekat dengan alam. Mereka sadar bahwa hidup mereka bergantung
dari alam. Banyak pelajaran yang menjadi pedoman hidup sehari-hari yang mereka
ambil dari alam (Ch dan Sudarsono, 2008). Penempatan dan pemilihan lauk pauk
dalam tumpeng juga didasari akan pengetahuan dan hubungan mereka dengan alam.
Nasi tumpeng yang berbentuk kerucut ditempatkan di tengah-tengah dan bermacam-macam lauk pauk disusun di sekeliling kerucut tersebut. Penempatan nasi dan lauk pauk seperti ini disimbolkan sebagai gunung dan tanah yang subur di sekelilingnya. Tanah di sekeliling gunung dipenuhi dengan berbagai macam lauk pauk yang menandakan lauk pauk itu semuanya berasal dari alam, hasil tanah. Tanah menjadi simbol kesejahteraan yang hakiki.
Tidak ada lauk-pauk baku untuk menyertai nasi tumpeng. Namun demikian, beberapa lauk yang biasa menyertai adalah perkedel, abon, kedelai goreng, telur dadar/telur goreng, timun yang dipotong melintang, dan daun seledri. Variasinya melibatkan tempe kering, serundeng, urap kacang panjang, ikan asin atau lele goreng, dan sebagainya. Dalam pengartian makna tradisional tumpeng, dianjurkan bahwa lauk-pauk yang digunakan terdiri dari hewan darat (ayam atau sapi), hewan laut (ikan lele, ikan bandeng atau rempeyek teri) dan sayur-mayur (kangkung, bayam atau kacang panjang). Setiap lauk ini memiliki pengartian tradisional dalam budaya Jawa dan Bali. Lomba merias tumpeng cukup sering dilakukan, khususnya di kota-kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta, untuk memeriahkan Hari Proklamasi Kemerdekaan.
Kebanyakan penghasilan orang Jawa diperoleh dengan bercocok tanam. Dengan banyaknya gunung yang terdapat di pulau Jawa dan jenis tanah vulkanik yang subur dan ideal untuk bercocok tanam, banyak orang Jawa yang tinggal disekitar daerah gunung dimana mereka menanam padi, sayur-sayuran, buah-buahan dan memelihara ternak seperti ayam, bebek, kambing, domba, sapi atau kerbau. Jadi hampir seluruh kebutuhan hidup mereka didapatkan dari tanah di sekitar gunung. Oleh karena itulah lauk-pauk ditempatkan di sekeliling nasi karena memang dari sanalah mereka berasal (tanah di sekitar gunung).
Selain penempatannya, pemilihan lauk juga didasari oleh kebijaksanaan yang didapat dari belajar dari alam. Tumpeng merupakan simbol ekosistem kehidupan. Kerucut nasi yang menjulang tinggi melambangkan keagungan Tuhan Yang Maha Pencipta alam beserta isinya, sedangkan aneka lauk pauk dan sayuran merupakan simbol dari isi alam ini. Oleh karena itu pemilihan lauk pauk di dalam tumpeng biasanya mewakili semua yang ada di alam ini (Shahab, 2006).
Bila kita
kembali sejenak pada pembahasan tentang agama dan kepercayaan, dalam
kepercayaan Hindu-Jawa alam terdiri dari alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang,
dan alam manusia. Di sini, alam tumbuh-tumbuhan diwujudkan melalui bahan-bahan,
misalnya kacang panjang dan sayur kangkung. Alam fauna dapat berasal dari dua
unsur: darat dan air, dan diwujudkan melalui daging hewan seperti ayam,
kambing, sapi dan jenis jenis ikan. Adapun alam manusia diwujudkan dalam bentuk
keseluruhan nasi tumpeng itu sendiri, yaitu makhluk yang bergantung pada tuhan
dan alam.
Pada jaman
dahulu, tumpeng selalu disajikan dari nasi putih. Nasi putih dan lauk pauk
dalam tumpeng mempunyai arti simbolik yang berbeda-beda.
- Nasi putih: berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan yang merapat menyembah tuhan. Nasi putih juga melambangkan bahwa segala sesuatu yang kita makan menjadi darah dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal. Bentuknya yang berupa gunungan juga dapat diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita semakin “naik” dan “tinggi”.
- Ayam: ayam jago atau jantan yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi kaldu santan yang kental merupakan simbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge ”reh” rasa). Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang dilambangkan oleh ayam jago, diantaranya adalah sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia, dan tidak perhatian dengan anak istri.
- Hidangan laut. Dari lauk pauk wakil dari alam fauna, sepertinya lauk yang mewakili unsur air yang banyak mengandung makna yang bisa diterapkan dalam kehidupan. Ikan sudah bisa dipastikan mewakili hewan air. Dalam tumpeng modern, menu ikan sering digantikan dengan udang. Ada tiga jenis ikan yang bisa dipakai untuk melengkapi jenis lauk-pauk yang terdapat di dalam tumpeng:
a) Ikan Lele: ikan lele tahan hidup di
air yang tidak mengalir dan terdapat di dasar sungai. Menghadirkan ikan lele
sebagai lauk dalam tumpeng merupaka simbol ketabahan, keuletan dalam hidup,
serta sanggup bertahan hidup dalam situasi ekonomi paling bawah sekalipun.
Kebiasaan hidup lele juga diharapkan akan diterapkan dalam kehidupan karier
manusia, yakni agar tidak sungkan meniti karier dari bawah.
b) Ikan Bandeng: Ikan bandeng terkenal
dengan duri-duri halusnya yang jumlahnya seperti tidak terbatas. Hampir setiap
gigitan, hampir bisa dipastikan ada duri di dalamnya. Melalui hidangan ini
orang berharap setiap saat bisa mendapat rezeki dan jumlahnya selalu banyak
atau bertambah seperti duri ikan bandeng.
c) Ikan Teri/Gereh Pethek: ikan ini
dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan teri ukurannya sangat
kecil dan mudah menjadi santapan ikan yang leih besar apabila ia berenang
sendirian. Oleh karena itu ikan teri hidupnya selalu bergerombol. Ini
mengingatkan manusia bahwa mereka tidak bisa hidup sendiri. Mereka adalah makhluk
yang lemah dan membutuhkan bantuan orang lain untuk hidup. Dengan demikian,
ikan teri melambangkan kerukunan dan kerjasama yang harus dibina sesama
manusia.
d) Telur: telur direbus pindang, bukan
didadar atau di-mata sapi, namun harus disajikan utuh dengan kulitnya (tidak
dipotong). Untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut (kulit
telur, putih telur, dan kuning telur) melambangkan bahwa semua tindakan yang
kita lakukan harus direncanakan (dikupas), dikerjakan sesuai dengan rencana dan
dievaluasi hasilnya demi tercapainya kesempurnaan.
Piwulang
Jawa mengajarkan “Tata, Titi, Titis, dan Tatas”, yang berarti etos kerja yang
baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan, dan diselesaikan
dengan tuntas. Telur melambangkan bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan derajat
(fitrah) yang sama, yang membedakannya adalah ketakwaan dan tingkah lakunya.
Sayuran dan urab-uraban: Urap
sayuran merupakan jenis menu yang umum dipilih yang dapat mewakili
tumbuhan darat. Jenis sayurnya tidak dipilih begitu saja karena tiap sayur
juga mengandung perlambang tertentu. Sayuran yang harus ada adalah:
- Kangkung: Sayur ini bisa tumbuh di air dan di darat, begitu juga yang diharapkan pada manusia yang harus sanggup hidup di mana saja dan dalam kondisi apa pun. Kangkung juga berarti ‘jinangkung’ yang artinya melindungi.
- Bayam: Bayam mempunyai warna hijau muda yang menyejukkan dan bentuk daunnya sederhana tidak banyak lekukan. Sayur ini melambangkan kehidupan yang ayem tenterem (aman dan damai), tidak banyak konflik seperti sederhananya bentuk daun dan sejuknya warna hijau pada sayur bayam.
- Taoge: Taoge muncul keluar dari biji kacang hijau. Di dalam sayur kecil ini terkandung makna kreativitas tinggi. Seseorang yang selalu memunculkan ide-ide baru adalah seseorang yang kreativitasnya tinggi dan bisa berhasil dalam hidupnya. Taoge juga jenis sayuran yang sangat mudah dihasilkan. Ini mengandung pengharapan bahwa manusia dapat terus tumbuh dan berkembang, mempunyai anak cucu.
- Kacang Panjang: Kacang panjang harus hadir utuh, tanpa dipotong. Maksudnya agar manusia hendaknya selalu berpikir panjang sebelum bertindak. Selain itu kacang panjang juga melambangkan umur panjang. Kacang panjang utuh umumnya tidak dibuat hidangan, tetapi hadir sebagai hiasan yang mengelilingi tumpeng atau ditempelkan pada badan kerucut.
- Bawang merah (brambang): melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dari sisi baik buruknya dengan matang.
- Cabe merah: biasanya diletakkan di ujung tumpeng. Ini merupakan simbol dilah/api yang memberikan penerangan/tauladan yang akan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
- Kluwih: berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding yang lainnya.
- Bumbu urap yang berarti urip/hidup atau mampu menghidupi dan menafkahi keluarga.
Dari
berbagai penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa pemilihan bentuk dan lauk
pauk pelengkap tumpeng bukan sekedar kebetulan atau tanpa alasan. Dasar dasar
pemilihannya sangat erat kaitannya dengan hubungan dan pengertian manusia akan
alam. Bahkan dari observasi sederhana yang jauh dari penjelasan ilmiah, manusia
bisa belajar banyak hal dari alam. Hal ini dinyatakan jelas oleh tumpeng.
Setiap kali tumpeng hadir dalam sebuah acara, kita akan diingatkan kembali akan
hubungan kita dengan alam dan pelajaran hidup yang kita peroleh dari alam.
Hubungannya dengan Sosial Kemasyarakatan
Puncak sebuah upacara dimana terdapat tumpeng didalamnya ditandai dengan pemotongan bagian teratas atau terlancip kerucut nasi tumpeng tersebut. Pemotongan ini biasanya dilakukan oleh orang yang paling dituakan atau dihormati di komunitas dimana upacara itu dilaksanakan. Ini menyiratkan bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat yang masih memegang teguh nilai nilai kekeluargaan dan memandang orang tua sebagai figur yang sangat dihormati.
Hal ini tercermin dalam ungkapan Jawa mikul dhuwur mendhem jero yang mengandung nasihat kepada anak untuk memperlakukan orang tuanya secara baik. Anak di sini bisa diartikan sebagai anak keturunan, generasi muda atau bawahan, sedangkan orang tua bisa diartikan orang tua dalam hubungan darah, orang yang usianya lebih tua, para pendahulu yang pernah berjasa, para pemimpin atau atasan. Mikul dhuwur (memikul tinggi) memiliki arti menghormati setinggi-tingginya dan mendhem jero (menanam dalam-dalam) artinya menghargai sebaik-baiknya atau penghargaan yang mendalam terhadap seseorang (Suratno dan Astiyanto, 2009).
Hal ini terwujud ketika orang yang dituakan memotong ujung kerucut tumpeng dan semua yang hadir memperhatikan dan mengikuti dengan seksama. Ujung kerucut nasi tumpeng adalah bagian yang paling penting dari tumpeng dan diperuntukkan khusus untuk orang yang dituakan sebagai tanda hormat dan bakti. Setelah bagian itu dipotong, barulah yang lain menikmati bagian tang tersisa dari nasi tumpeng tersebut (bagian bawah kerucut).
Dalam tradisi awalnya, upacara dalam adat Jawa merupakan upacara yang melibatkan seluruh desa atau kampung. Begitu mengetahui tetangganya mengadakan upacara syukuran atau selamatan, sanak saudara, kenalan dan orang yang tinggal sekitar tempat acara syukuran diadakan akan datang menawarkan bantuan tanpa diminta. Mereka terlibat langsung mulai dari persiapan sampai dengan berakhirnya acara tersebut. Dengan demikian, seluruh komponen upacara tersebut adalah atas hasil usaha bersama.
Hal ini merupakan hal yang lazim terjadi dalam hubungan kemasyarakatan orang Jawa yang menjunjung tinggi asas gotong royong. Ada ungkapan Jawa yang berbunyi urip tulung tinulung(Suratno dan Astiyanto, 2009) yang berarti bahwa dalam hidup, orang harus saling tolong menolong. Ajaran ini berangkat dari pandangan bahwa seseorang tidak mungkin hidup seorang diri. Sudah merupakan kodrat seorang manusia yang membutuhkan orang lain. Oleh karena itu kita harus hidup saling tolong menolong.
Hal ini berhubungan dengan ungkapan lain, yaitu nandur kebecikan, males budi (menanam kebaikan membalas budi). Konsep nandur kebecikan merupakan peringatan agar seseorang tidak bersikap individualis atau sombong. Pengertian ungkapan ini juga mengandung ajaran filosofis bahwa orang yang menanam pasti akan memetik hasilnya. Bila menanam kebaikan, pasti akan memetik kebaikan pula (baik di dunia ataupun di akhirat). Keyakinan ini membuahkan sikap murah hati untuk berbuat baik terhadap orang lain. Bila kita menerima kebaikan dari orang lain, hendaknyalah kita males budi atau membalas budi sehingga jangan sampai kita hidup dengan berhutang jasa atau kebaikan terhadap orang lain. Nilai nandur kebecikan, males budi yang tertanam dalam masyarakat akan menciptakan hubungan social kemasyaratkan yang sangat harmonis yang salah satunya diwujudkan dalam sikap gotong royong dalam mempersiapkan dan menjalankan sebuah upacara syukuran atau selamatan.
Ada sesanti jawi yang tidak asing bagi kita, yaitu: mangan oran mangan waton kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul). Hal ini tidak berarti meski serba kekurangan yang penting tetap berkumpul dengan sanak saudara, namun harus selalu mengutamakan semangat kebersamaan dalam rumah tangga, perlindungan orangtua terhadap anaknya, serta kecintaan terhadap keluarga. Dimana pun kita berada, meskipun harus merantau, maka harus tetap mengingat kepada keluarganya dan menjaga tali silaturahmi dengan sanak saudara.
PENUTUP
Jika dilihat secara keseluruhan, makna-makna inilah yang menjadi identitas budaya dan masyarakat Jawa (dan Indonesia pada umumnya) sehingga hadirnya tumpeng juga mengingatkan kita tentang siapa kita dan apa yang membuat bangsa kita berbeda dari bangsa lain. Dengan begitu, tumpeng juga merupakan salah satu perangkat identitas nasional yang harus dijaga dan dilestarikan, bukan dalam hal bentuk tumpengnya saja melainkan juga makna-makna atau nilai nilai yang terkandung di dalamnya.
PUSTAKA
1 komentar:
Winning303 1 User ID untuk Semua Permainan
Winning303 adalah salah satu situs judi online yang terbaik yang memberikan kemudahan dan akses yang bisa anda dapatkan hanya dengan bergabung bersama kami. Untuk anda yang selama ini bosan dengan mengganti-ganti aku setiap mau berganti permainan, Sekarang bisa Join Kami di Winning303 dan nikmati semua permainan seperti :
- SPORT
- LIVE CASINO
- SLOTS
- TOGEL
- POKER
- SABUNG AYAM
Hubungi kami di :
WA : +6281717177303
atau langsung di Livechat kami ya bosku, Terimakasih
>>>Daftar<<<
Winning303
Posting Komentar