Oleh. Budi Siswanto
I. Latar
Belakang
Jauh sebelum Islam berkembang, kemajuan pengetahuan
dunia dalam bidang astronomi sudah berkembang sangat pesat, hal ini dipicu oleh
rasa keingintahuan manusia tentang alam semesta yang terus berkembang. Selain
dipicu oleh rasa ingin tahu, keahlian dalam menerapkan pengetahuan astronomi
mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam ibadah kepada Tuhan.
Silsilah sains menunjukkan asal-usul yang sangat rumit. pada abad pertengahan
kaum muslimin memasukkan astronomi sebagai salah satu dari sains matematika.
Sebagian pengetahuan berasal dari India
dan Sansani, yang termasuk kedalam pengetahuan yang diteruskan selama
beribu-ribu tahun dari Babilonia dan mesir kuno, dimana observasi terhadap
langit dilakukan dengan rinci dan perhitunggan tahun kalender didasarkan
pada apa yang dapat dilihat dilangit. Perhitungan yang tidak jauh berbeda
dari zaman modern.
Dalam pengembangan dan peningkatan banyak instrumen astronomi, kaum muslimin
banyak membuat kemajuan yang begitu penting, seperti membuat alat-alat seperti,
astrolobus, kuadran, bencet, armillry
sphere dan lain sebagainya. Alat-alat yang baru saja saya sebutkan adalah
alat pendukung yang pernah populer pada masa itu. Akan tetapi, alat yang begitu
rumit kini di gantikan dengan alat yang sangat sederhana, “Rubu’ Mujayyab /
Quadrant Sinus”. Namun alat ini seiring dengan perkembangan waktu, mulai lenyap
tengelam oleh kemajuan jaman. Padahal di dalam sebuah Rubu’ Mujayyab/ Quadrant
Sinus tersebut tersimpan khazanah keilmuan yang patut digali, dicermati, serta
di kembangkan, sehingga kelak akan banyak generasi muda yang mengerti tentang
kemuajuan ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan oleh nenek moyang kita.
Walaupun sudah lenyap, namun sampai sekarang rubu’ masih digunakan. Walaupun
zaman sudah modern, peralatan yang digunakan untuk pengamatan astronimi sudah
canggih, tetapi rubu’ masih tetap digunakan. Para ahli falak di Indonesia terus
melestarikannya. Karena rubu’ merupakan khazanah keilmuan yang harus kita jaga
agar tidak terkubur oleh jaman.
II. Pembahasan
A. Definisi
Rubu’ Mujayyab
Ada beberapa
definisi Rubu Mujayyab yaitu sebagai berikut:
1) Hendro
Setyanto : Rubu’ atau Rubu’ Mujayyab adalah alat hitung astronimi
untuk memecahkan permasalahan segitiga bola dalam astronomi.
2) Susiknan
Azhar : Rubu’ Mujayyab adalah suatu alat yang bebentuk seperempat lingkaran (900) yang digunakan untuk menghitung fungsi geniometris yang
sangat berguna untuk memproyerksikan perdaran benda-benda langit pada lingkaran
vertikal.
3) Muhyiddin
Khazin : suatu alat hitung yang berbentuk seperempat lingkaran untuk perhitungan geniometris.
Rubu’
biasanya terbuat dari kayu, kuningan atau sejenisnya yang salah satu mukanya
dibuat garis-garis skala sedemikian rupa. Alat ini sangat berguna untuk
memproyeksikan peredaran benda-benda langit pada bidang vertical.
B. Sejarah
Rubu’ Mujayyab Dan Perkembangannya
Sebagaimana dijelasakan Rubu’ atau dalam istilah astronomi disebut dengan
kuadran (quadrant) merupakan Salah satu instrumen awal astronomi, yaitu suatu
alat yang digunakan untuk menghitung ketinggian bintang di atas cakrawala atau
alat untuk menghitung fungsi giniometris yang sangat berguna untuk
memproyeksikan peredaran benda langit pada lingkaran vertical.
Sebelum dikenal daftar logaritma, perhitungan ilmu falak dilakukan dengan rubu’
ini. Sehingga buku-buku ilmu falak yang ditulis pada tahun 1930-an,
seperti Badi’atul missal, dan Attaqribul Maqshad, system perhitungannya
masih menggunakan rubu’.
Mengenai kapan
munculnya rubu’ tidak pasti kapan ditemukan. Di dalam leteratur yang lain bahwa
rubu’ (dalam bahasa Arab ) sudah dikenal jauh sebelum islam datang. Pada awalnya penggunaan rubu’ adalah pengganti dari
astrolabe.[1]
Pada abab ke-11, para astronom muslim mesir mulai mengembangkan alat ini.
Perputaran harian yang terlihat pada ruang angkasa disimulasikan dengan gerak
benang tegang yang terletak pada pusat rubu’, dengan sebuah manik-manik yang
bergerak pada benang ke posisi yang berhubungan degan matahari atau bintang
tertentu, posisi tersebutdibaca pada tanda-tanda dalam rubu’. Maka benang
danmanik-manik menggantikan rete pada astrolabe. Jauh lebih mudah menggunakan
rubu’ dibanding dengan menggunakan astrolabe. Rubu’ pada saat itu depergunakan
untuk memecahkan masalah-masalah standar pada astronomi ruang untuk garis
lintang tertentu.
Pada abad ke-14 sebuah rubu’ yang halus dan unik dibuat dari gading, bukan
kuningan atau kayu. Rubu’ ini memliki dua garis lintang. Bagian dalam,
perangkat tanda standar di bagian depan berguna untuk garis lintang Kairo.
Sedangkan pada bagian luar, perangkat nonstandard berguna untuk garis lintang
Damaskus. Bagian belakang alat ini memiliki kisi-kisi standar yang digunakan
untuk memecah maslah-masalah geometri secara numerik. Jenis rubu’ seperti ini
pada saat itu dinamakan Rubu’ Mesir.
Pada abad ke-16 di Afrika Utara terdapat sebuah rubu’ terbuat dari kuningan
yang di ukir dengan sangat indah. Rubu’ ini memiliki kisi-kisi sinus standar
untuk melakukan fungsi trigonometri. Kisi-kisi ini pada abad pertengahan
sebanding dengan penggaris geser yang ada sekarang. Bagian belakang pada alat
ini memiliki penandaan yang menarik yang mungkin tidak lengkap. Lingkaran luar
kemungkinan menunjukan ekuator langit, lingkaran terkecil tidak diberi tanda
dan tidak memiliki fungsi yang jelas. Bulan sabit merupakan proyeksi
setereografi dari eklipsi (gerhana).
Mengikuti jalan perkembangannya, rubu’ telah menyebar ke penjuru dunia, salah
satunya Indonesia. Penyebaran itu salah satu nya berkat para asronom muslim
yang giat melakukan penggamatan-pengamatan.
Beberapa tokoh yang berperan dalam pengkembangan rubu’ ini antara lain;
al-Khawarizmi[2] ( 770-840 H ), dan Ibnu
Shatir[3] ( abad ke-11 H ). Rubu’
Mujayyab yang berkembang di Indonesia adalah jenis Rubu’ yang telah
dikembangkan oleh Ibnu Shatir.
1 komentar:
Baru tahu bbrp definisi RM disini
Pengantar Ilmu Falak
Posting Komentar